“jug jeg jug jeg
jug jeg jug jeg”
Suara
kereta ekonomi AC Malioboro Express berangkat meninggalkan stasiun Malang,
sebuah kota yang terkenal dengan buah apelnya yang manis semanis kenangan indah
bersama mantan. Kereta yang saya tumpangi berjalan menuju tempat tujuan
berikutnya dari perjalanan saya sebelumnya. Kota Yogyakarta, kota yang terkenal
sebagai kota pelajar dengan makanan khasnya yang bernama gudeng.
Di
sinilah, di kursi nomor 11 A gerbong nomor 2 seorang pria mengenakan celana pendek
hitam dengan kaos polos warna putih dibalut cardigan warna abu-abu dan sneakers
converse warna hitam dengan sebuah tas carrier 80 liter disampingnya duduk
termenung. Di pangkuannnya terdapat sebuah laptop, di depannya terdapat satu
cup kopi dan sebuah kamera, dia sedang menuliskan beberapa buah kalimat untuk
tulisannya tentang perjalanannya selama beberapa hari ini.
Perjalanan saya dimulai pada
pukul 06.00 hari sabtu dari stasiun Purwokerto, dengan menggunakan kereta
logawa, saya berangkat menuju tujuan utama saya Gunung Bromo, Gunung yang
terkenal dengan keindahannya (tapi masih kalah indah dengan kenangan manis bersama mantan) yang membuat saya
tertarik untuk membuktikan keindahnnya. Perjalanan dari Purwokerto menuju Probolinggo dengan menggunakan kereta ekonomi
sekitar 12 jam cukup lah kalau cuma mau bikin pantat tepos, juga lumayan lah
buat ngeliat keluar jendela sambil nginget-nginget mantan yang udah punya pacar
baru.
what you see is |
Saya berangkat bersama tiga rekan saya pada hari itu tepatnya hari Sabtu (lupa tanggalnya, yang jelas di bulan maret) dengan penuh suka cita dan riang gembira karena duduk disamping pak kusir yang sedang bekerja mengendarai kuda supaya baik jalannya. Perjalanan selama 12 jam diatas kereta saya habiskan dengan ngeliat ke luar jendela kaca kereta, tidur, makan, dan pura-pura tidur karena ngeliat sepasang orang pacaran yang duduk di seberang kursi. Sungguh mereka berdua tidak memiliki peri ke jomblo-an dan peri ke move on-an. Bagaimana bisa mereka sayang-sayang dan suap-suapan makanan di depan orang yang cuma bisa ngeringkuk meluk carier. Saya siapa yang nyuapin? Masa iya saya beli nasi goreng ke mba-mba di restorasi kereta trus minta disuapin sama mba-mba nya.
Pukul 18.30 WIB saya sampai
dengan selamat sentosa di stasiun Probolinggo. Dengan modal itinerary yang
sudah saya persiapkan, saya langsung bergegas mencari kendaraan (mobil
carteran) untuk mengantarkan mencari penginapan di daerah yang dekat dengan
bromo. Jangan takut jangan ragu dan jangan bingung untuk mencari kendaraan ataupun
mencari orang yang siap mengantarkan anda menuju ke bromo. Asalkan ada uang
abang disayang, nggak ada uang abang di lempar ke kawah bromo. Buat para jomblo
jangan takut nggak akan ada yang mau nawarin kalian kendaraan buat ngantar ke
bromo. Disini kalian (para jomblo) bakalan laris manis banyak yang nawarin
kendaraan (bukan pacar) karena mereka semua tau, jomblo pasti banyak duitnya,
karena jomblo nggak perlu budget buat malam mingguan, ngajak jalan pacar,
ngajak makan pacar, ngajak nonton pacar,
apalagi beliin kado buat pacar, jadi beruntunglah kalian wahai para kaum fakir
asmara, kalian lebih banyak duitnya. Tips buat yang budgetnya pas-pasan,
mending nunggu rombongan lain yang datang trus ajak gabung bareng-bareng buat
carter mobil biar ongkosnya lebih murah, atau tips yang kedua buat yang
budgetnya minim, telpon orang tua minta di transfer duit tambahan, bilang aja
kalo nggak ditransfer uang sekarang kalian nggak akan bisa pulang karena
kehabisan ongkos buat pulang. #simplebanget
Sampai di penginapan kira-kira
satu jam perjalanan lebih dari stasiun kereta probolinggo setelah mendaki
gunung lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudra, saya tiba di penginapan
yang menurut saya cukup bersih dan cukup murah dan yang terpenting nggak butuh
ac buat tidur karena dinginnya bromo sudah terasa langsung menusuk lemak (nb:
saat ke bromo, berat badan saya lagi pada angka yang montok-montoknya). Lalu
bagaimana dari penginapan menuju puncak bromo nya? Banyak pilihan buat menuju
bromo, yang mungkin udah familiar itu naik jeep, naik ojek, dan naik kuda (ini
dari pintu masuk bromo sampai ke titik pendakian / tangga menuju kawah bromo).
Sekali lagi buat yang koceknya minim, saya saran kan untuk memperbanyak anggota
kelompok pada saat menyewa kendaraan seperti jeep agar ongkos yang dikeluarkan
lebih murah dan lebih terjangkau. Satu buah jeep bisa diisi maksimal 5-6 orang,
tentu dengan ukuran yang wajar. Atau kalo memang menginginkan sesuatu yang
lebih murah dan lebih menantang adrenalin (nguras tenaga) bisa dengan jalan
kaki dari penginapan sampai pos masuk bromo dan dilanjutkan juga dengan jalan
sampai dengan kawah bromo, biaya yang dikeluarkan paling-paling cuma sepasang
sepatu dan tekat yang kuat (gila aja bro jauhnya!) tapi pada saat saya kesana
ternyata banyak juga yang jalan kaki dari penginapan.
Setelah deal dan sepakat
mengikrarkan janji suci sehidup semati dengan supir jeep dan sekaligus
merangkap sebagai tour guide kami, kami sepakat untuk berangkat dan dijemput
pukul 03.30 pagi menuju pananjakan (titik dimana kita bias melihat sunrise).
Pada dini hari saat kami berangkat dari penginapan menuju pananjakan ternyata
rombongan kami bertambah satu, seorang wanita
warga negara spanyol, ini beneran. Namanya adalah Sabrina. Tidak ada
percakapan ataupun canda tawa antara kami berlima, saya dan rombongan, pak
supir jeep yang sedang bekerja mengendarai jeepnya supaya baik jalannya dan
Sabrina. Semua itu bukan karena kami semua masih mengantuk atau karena bibir
kami kaku akibat dinginnya udara bromo, tapi karena kami semua ENGGAK BISA
BAHASA SPANYOL! Berbeda dengan wanita yang satu ini sebut saja (mba) Desti,
cewek manis, cantik, baik, tidak sombong, rajin menabung dan murah senyum,
(beberapa kata pujian barusan bukan paksaan, tapi keharusan seorang junior yg
takut kualat pada senior) bisa dikatakan terlalu murah senyum, karena dia selalu
tersenyum, laper senyum, nggak punya duit senyum, marah senyum, dikamar mandi
pun senyum. Mungkin semuanya berbeda
jika (mba) Desti ikut rombongan kami saat itu, sedikit-sedikit dia tahu
bahasa spanyol, yah walaupun setiap kali melihatnya mencoba mengucapkan
kalimat-kalimat menggunakan bahasa spanyol yang sedang dipelajarinya, saya
sering tersenyum mendengarkannya dan melihat ekspresi dan mimik wajahnya yang
sangat khas. Hanya beberapa kata yang saya tahu dalam bahasa spanyol selain
gracias, dan selalu saya ucapkan padanya (karena dia juga yang mengajarkannya) Nada Sintu (entah benar atau tidak
penulisannya).
Sampai pada akhirnya di tengah semua kegelapan itu bapak supir jeep
memecah keheningan dengan kata-katanya yang entah kenapa Sabrina juga ikut
mengeluarkan suaranya, kata-kata yang sungguh memecah suasana “Maaf mas, kacanya tolong dibuka, bapak
habis ngentut takut pada bau”. Sepersekian detik berikutnya udara yang
bersih di komplek pegunungan bromo berubah dengan bau kentut khas supir jeep
yang paling tidak memecah tawa di dalam jeep yang sebelumnya hening.
Sesampainya di tempat pemberhentian terakhir jeep, kita diharuskan
turun dan berjalan kaki sekitar 20 menit
menuju penanjakan dimana kita bisa melihat sunrise di bromo. Jalur menuju
puncak spot melihat sunrise cukup terjal cukup menguras tenaga.
“Sorry, what your name?” Sabrina memulai percakapan.
“My name is Khan Ganang, you can call me Brad Pitt Purbo, and you?”
kemudian selayaknya dua orang yang berkenalan kita pun berpelukan berjabat
tangan.
“My name is Sabrina, I’m from Spain” sambil menjelaskan dengan
bahasa tubuh seolah-olah dia sedang berbicara dengan orang dongo yang nggak
bisa bahasa inggris.
“I’m from Indonesia (ya iyalah Sabrina juga udah tau kali)” Kata
saya seolah-olah agar terlihat dekat dengan ngajak dia ngobrol terus, yang ada
jadi kelihatan bego, karena jawaban Sabrina.
“Yeah, I already know it. Because you don’t look like a foreigner”
kata Sabrina dalam hati, dan saya mengutuk diri saya sendiri dalam hati.
Setelah perjalanan sekitar 20 menit ditambah 5 menit untuk
membersihkan sepatu karena menginjak kotoran kuda, akhirnya kita tiba di pintu
gerbang kemerdekaan penanjakan untuk melihat sunrise. Disana sudah banyak
wisatawan lain baik dari mancanegara seperti Sabrina dan domestic seperti saya,
semuanya berkumpul disana menjadi satu dengan satu tujuan untuk Indonesia yang
lebih maju melihat sunrise.
Gerbang |
Teman-teman saya dengan sigap dan tanpa diperintah langsung
mengeluarkan kamera mereka mengabadikan momen sunrise di bromo dengan kamera
mereka masing-masing, sesekali mereka bertukar meminta difoto dengan backgroung
sunrise, agak terlihat sedikit seperti homo si melihat dua orang lelaki
berebutan untuk difoto dan memfoto (sory bro ini buat lucu-an aja, kalo nggak,
nggak lucu nanti tulisannya), sangat berbeda dengan pasangan sebelah mereka,
sepasang kekasih yang mengabadikan momen kebersamaan mereka berdua. Ketika saya
melihat Sabrina, bule yang satu ini pun sibuk dengan kamera nya mengabadikan
momen langka yang mungkin tidak bisa dia temui di negaranya.
Sunrise di Pananjakan |
“Your country is like heaven” katanya. Emang sabrina udah pernah ke
surga? Becanda nih.
Sedangkan saya sendiri, saya tidak sibuk dengan kamera saya bukan
karena saya tidak suka foto-foto karena saya lupa bawa camera saya yang
tertinggal di penginapan. Saya lebih memilih menikmati indahnya sunrise di
bromo dengan mengabadikannya di memori dalam otak saya, bergumul dengan
kepingan-kepingan kenangan, baik yang manis maupun yang pahit bercampur menjadi
satu di dalam kepala yang akhir-akhir ini lebih sering untuk memikirkan masa
lalu dibandingkan mengandai-andaikan masa depan. Sunrise semakin terlihat jelas
semakin menyingsing naik keatas, suasan semakin riuh dan semakin terang,
sungguh ciptaan Tuhan yang memiliki keindahan yang tiada batasnya.
“Purbo, why are you just stand there? Lets take a picture with me”
kata Sabrina memecah lamunan saya karena keindahan alam negeriku ini.
“Oke, I’m coming” saya berjalan menuju ke arah nya sambil menaikan
celana saya yang melorot.
“Where is your girlfriend? Why you don’t bring her here? Your
girlfriend will be so happy if you bring her here, This place is so romantic”
tanya Sabrina setelah mengambil foto kami berdua bersama.
“I think she is seeing another sunrise with another boyfriend right
now Sab” kata gue sambil tersenyum datar melihat Sabrina.
“I’m so sorry Purbo, I don’t mean it” Sabrina meminta maaf sambil
menepuk-nepuk pundak saya menyenangkan hati saya, dan saya pun merespon dengan
mengusap-usap dada. Dada Sabrina. Hush!
“It’s okay Sab, no problem” sambil masih mengusap-usap dada.
“Oke let’s enjoy the sunrise with me, I will make you happy right
now, don’t be sad, there are another good girl for you in this world, keep smile”
kata Sabrina sambil menepuk-nepuk pundak saya.
Kemudian kami duduk berdua di tepi tebing menikmati indahnya sunrise
di bromo.
To be continued, Tunggu di Perjalanan Hati Part 2
NB: Sabrina adalah seorang traveler perempuan berkebangsaan spanyol
berumur sekitar 28 tahunan dan sudah memiliki seorang suami dan seorang anak
bernama duke. Dia sudah berada di Indonesia selama 3 bulan, dan menetap
sementara di bali.
2 comments:
haha tumben nang km gk caci maki aku,,haruse km nanya alamatnya sabrina nang..sp tau ntr ke spain,, haha :P
cie yang cita-citanya ke spain ketemu fabregas. Nada Sintu Mba Desti...
Posting Komentar