Perjalanan Hati Part 1

Senin, 23 Desember 2013 2 comments


“jug jeg jug jeg jug jeg jug jeg”
                Suara kereta ekonomi AC Malioboro Express berangkat meninggalkan stasiun Malang, sebuah kota yang terkenal dengan buah apelnya yang manis semanis kenangan indah bersama mantan. Kereta yang saya tumpangi berjalan menuju tempat tujuan berikutnya dari perjalanan saya sebelumnya. Kota Yogyakarta, kota yang terkenal sebagai kota pelajar dengan makanan khasnya yang bernama gudeng.
                Di sinilah, di kursi nomor 11 A gerbong nomor 2 seorang pria mengenakan celana pendek hitam dengan kaos polos warna putih dibalut cardigan warna abu-abu dan sneakers converse warna hitam dengan sebuah tas carrier 80 liter disampingnya duduk termenung. Di pangkuannnya terdapat sebuah laptop, di depannya terdapat satu cup kopi dan sebuah kamera, dia sedang menuliskan beberapa buah kalimat untuk tulisannya tentang perjalanannya selama beberapa hari ini.
Perjalanan saya dimulai  pada pukul 06.00 hari sabtu dari stasiun Purwokerto, dengan menggunakan kereta logawa, saya berangkat menuju tujuan utama saya Gunung Bromo, Gunung yang terkenal dengan keindahannya (tapi masih kalah indah dengan kenangan  manis bersama mantan) yang membuat saya tertarik untuk membuktikan keindahnnya. Perjalanan dari Purwokerto menuju  Probolinggo dengan menggunakan kereta ekonomi sekitar 12 jam cukup lah kalau cuma mau bikin pantat tepos, juga lumayan lah buat ngeliat keluar jendela sambil nginget-nginget mantan yang udah punya pacar baru.
           
what you see is Deni Sumargo in 5CM Film a rookie backpacker


            Saya berangkat bersama tiga rekan saya pada hari itu tepatnya hari Sabtu (lupa tanggalnya, yang jelas di bulan maret) dengan penuh suka cita dan riang gembira karena duduk disamping pak kusir yang sedang bekerja mengendarai kuda supaya baik jalannya. Perjalanan selama 12 jam diatas kereta saya habiskan dengan ngeliat ke luar jendela kaca kereta, tidur, makan, dan pura-pura tidur karena  ngeliat sepasang orang pacaran yang duduk di seberang kursi. Sungguh mereka berdua tidak memiliki peri ke jomblo-an dan peri ke move on-an. Bagaimana bisa mereka sayang-sayang dan suap-suapan makanan di depan orang yang cuma bisa ngeringkuk meluk carier. Saya siapa yang nyuapin? Masa iya saya beli nasi goreng ke mba-mba di restorasi kereta trus minta disuapin sama mba-mba nya.
                Pukul 18.30 WIB saya sampai dengan selamat sentosa di stasiun Probolinggo. Dengan modal itinerary yang sudah saya persiapkan, saya langsung bergegas mencari kendaraan (mobil carteran) untuk mengantarkan mencari penginapan di daerah yang dekat dengan bromo. Jangan takut jangan ragu dan jangan bingung untuk mencari kendaraan ataupun mencari orang yang siap mengantarkan anda menuju ke bromo. Asalkan ada uang abang disayang, nggak ada uang abang di lempar ke kawah bromo. Buat para jomblo jangan takut nggak akan ada yang mau nawarin kalian kendaraan buat ngantar ke bromo. Disini kalian (para jomblo) bakalan laris manis banyak yang nawarin kendaraan (bukan pacar) karena mereka semua tau, jomblo pasti banyak duitnya, karena jomblo nggak perlu budget buat malam mingguan, ngajak jalan pacar, ngajak makan pacar, ngajak  nonton pacar, apalagi beliin kado buat pacar, jadi beruntunglah kalian wahai para kaum fakir asmara, kalian lebih banyak duitnya. Tips buat yang budgetnya pas-pasan, mending nunggu rombongan lain yang datang trus ajak gabung bareng-bareng buat carter mobil biar ongkosnya lebih murah, atau tips yang kedua buat yang budgetnya minim, telpon orang tua minta di transfer duit tambahan, bilang aja kalo nggak ditransfer uang sekarang kalian nggak akan bisa pulang karena kehabisan ongkos buat pulang. #simplebanget
                Sampai di penginapan kira-kira satu jam perjalanan lebih dari stasiun kereta probolinggo setelah mendaki gunung lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudra, saya tiba di penginapan yang menurut saya cukup bersih dan cukup murah dan yang terpenting nggak butuh ac buat tidur karena dinginnya bromo sudah terasa langsung menusuk lemak (nb: saat ke bromo, berat badan saya lagi pada angka yang montok-montoknya). Lalu bagaimana dari penginapan menuju puncak bromo nya? Banyak pilihan buat menuju bromo, yang mungkin udah familiar itu naik jeep, naik ojek, dan naik kuda (ini dari pintu masuk bromo sampai ke titik pendakian / tangga menuju kawah bromo). Sekali lagi buat yang koceknya minim, saya saran kan untuk memperbanyak anggota kelompok pada saat menyewa kendaraan seperti jeep agar ongkos yang dikeluarkan lebih murah dan lebih terjangkau. Satu buah jeep bisa diisi maksimal 5-6 orang, tentu dengan ukuran yang wajar. Atau kalo memang menginginkan sesuatu yang lebih murah dan lebih menantang adrenalin (nguras tenaga) bisa dengan jalan kaki dari penginapan sampai pos masuk bromo dan dilanjutkan juga dengan jalan sampai dengan kawah bromo, biaya yang dikeluarkan paling-paling cuma sepasang sepatu dan tekat yang kuat (gila aja bro jauhnya!) tapi pada saat saya kesana ternyata banyak juga yang jalan kaki dari penginapan.
                Setelah deal dan sepakat mengikrarkan janji suci sehidup semati dengan supir jeep dan sekaligus merangkap sebagai tour guide kami, kami sepakat untuk berangkat dan dijemput pukul 03.30 pagi menuju pananjakan (titik dimana kita bias melihat sunrise). Pada dini hari saat kami berangkat dari penginapan menuju pananjakan ternyata rombongan kami bertambah satu, seorang wanita  warga negara spanyol, ini beneran. Namanya adalah Sabrina. Tidak ada percakapan ataupun canda tawa antara kami berlima, saya dan rombongan, pak supir jeep yang sedang bekerja mengendarai jeepnya supaya baik jalannya dan Sabrina. Semua itu bukan karena kami semua masih mengantuk atau karena bibir kami kaku akibat dinginnya udara bromo, tapi karena kami semua ENGGAK BISA BAHASA SPANYOL! Berbeda dengan wanita yang satu ini sebut saja (mba) Desti, cewek manis, cantik, baik, tidak sombong, rajin menabung dan murah senyum, (beberapa kata pujian barusan bukan paksaan, tapi keharusan seorang junior yg takut kualat pada senior) bisa dikatakan terlalu murah senyum, karena dia selalu tersenyum, laper senyum, nggak punya duit senyum, marah senyum, dikamar mandi pun senyum. Mungkin semuanya berbeda  jika (mba) Desti ikut rombongan kami saat itu, sedikit-sedikit dia tahu bahasa spanyol, yah walaupun setiap kali melihatnya mencoba mengucapkan kalimat-kalimat menggunakan bahasa spanyol yang sedang dipelajarinya, saya sering tersenyum mendengarkannya dan melihat ekspresi dan mimik wajahnya yang sangat khas. Hanya beberapa kata yang saya tahu dalam bahasa spanyol selain gracias, dan selalu saya ucapkan padanya (karena dia juga yang mengajarkannya) Nada Sintu (entah benar atau tidak penulisannya).
Sampai pada akhirnya di tengah semua kegelapan itu bapak supir jeep memecah keheningan dengan kata-katanya yang entah kenapa Sabrina juga ikut mengeluarkan suaranya, kata-kata yang sungguh memecah suasana “Maaf mas, kacanya tolong dibuka, bapak habis ngentut takut pada bau”. Sepersekian detik berikutnya udara yang bersih di komplek pegunungan bromo berubah dengan bau kentut khas supir jeep yang paling tidak memecah tawa di dalam jeep yang sebelumnya hening.
Sesampainya di tempat pemberhentian terakhir jeep, kita diharuskan turun dan berjalan kaki  sekitar 20 menit menuju penanjakan dimana kita bisa melihat sunrise di bromo. Jalur menuju puncak spot melihat sunrise cukup terjal cukup menguras tenaga.
“Sorry, what your name?” Sabrina memulai percakapan.
“My name is Khan Ganang, you can call me Brad Pitt Purbo, and you?” kemudian selayaknya dua orang yang berkenalan kita pun berpelukan berjabat tangan.
“My name is Sabrina, I’m from Spain” sambil menjelaskan dengan bahasa tubuh seolah-olah dia sedang berbicara dengan orang dongo yang nggak bisa bahasa inggris.
“I’m from Indonesia (ya iyalah Sabrina juga udah tau kali)” Kata saya seolah-olah agar terlihat dekat dengan ngajak dia ngobrol terus, yang ada jadi kelihatan bego, karena jawaban Sabrina.
“Yeah, I already know it. Because you don’t look like a foreigner” kata Sabrina dalam hati, dan saya mengutuk diri saya sendiri dalam hati.
Setelah perjalanan sekitar 20 menit ditambah 5 menit untuk membersihkan sepatu karena menginjak kotoran kuda, akhirnya kita tiba di pintu gerbang kemerdekaan penanjakan untuk melihat sunrise. Disana sudah banyak wisatawan lain baik dari mancanegara seperti Sabrina dan domestic seperti saya, semuanya berkumpul disana menjadi satu dengan satu tujuan untuk Indonesia yang lebih maju melihat sunrise.
Gerbang Kemerdekaan Indonesia Pananjakan
Teman-teman saya dengan sigap dan tanpa diperintah langsung mengeluarkan kamera mereka mengabadikan momen sunrise di bromo dengan kamera mereka masing-masing, sesekali mereka bertukar meminta difoto dengan backgroung sunrise, agak terlihat sedikit seperti homo si melihat dua orang lelaki berebutan untuk difoto dan memfoto (sory bro ini buat lucu-an aja, kalo nggak, nggak lucu nanti tulisannya), sangat berbeda dengan pasangan sebelah mereka, sepasang kekasih yang mengabadikan momen kebersamaan mereka berdua. Ketika saya melihat Sabrina, bule yang satu ini pun sibuk dengan kamera nya mengabadikan momen langka yang mungkin tidak bisa dia temui di negaranya.
Sunrise di Pananjakan
“Your country is like heaven” katanya. Emang sabrina udah pernah ke surga? Becanda nih.
Sedangkan saya sendiri, saya tidak sibuk dengan kamera saya bukan karena saya tidak suka foto-foto karena saya lupa bawa camera saya yang tertinggal di penginapan. Saya lebih memilih menikmati indahnya sunrise di bromo dengan mengabadikannya di memori dalam otak saya, bergumul dengan kepingan-kepingan kenangan, baik yang manis maupun yang pahit bercampur menjadi satu di dalam kepala yang akhir-akhir ini lebih sering untuk memikirkan masa lalu dibandingkan mengandai-andaikan masa depan. Sunrise semakin terlihat jelas semakin menyingsing naik keatas, suasan semakin riuh dan semakin terang, sungguh ciptaan Tuhan yang memiliki keindahan yang tiada batasnya.
“Purbo, why are you just stand there? Lets take a picture with me” kata Sabrina memecah lamunan saya karena keindahan alam negeriku ini.
“Oke, I’m coming” saya berjalan menuju ke arah nya sambil menaikan celana saya yang melorot.
“Where is your girlfriend? Why you don’t bring her here? Your girlfriend will be so happy if you bring her here, This place is so romantic” tanya Sabrina setelah mengambil foto kami berdua bersama.
“I think she is seeing another sunrise with another boyfriend right now Sab” kata gue sambil tersenyum datar melihat Sabrina.
“I’m so sorry Purbo, I don’t mean it” Sabrina meminta maaf sambil menepuk-nepuk pundak saya menyenangkan hati saya, dan saya pun merespon dengan mengusap-usap dada. Dada Sabrina. Hush!
“It’s okay Sab, no problem” sambil masih mengusap-usap dada.
“Oke let’s enjoy the sunrise with me, I will make you happy right now, don’t be sad, there are another good girl for you in this world, keep smile” kata Sabrina sambil menepuk-nepuk pundak saya.
Kemudian kami duduk berdua di tepi tebing menikmati indahnya sunrise di bromo.

To be continued, Tunggu di Perjalanan Hati Part 2

NB: Sabrina adalah seorang traveler perempuan berkebangsaan spanyol berumur sekitar 28 tahunan dan sudah memiliki seorang suami dan seorang anak bernama duke. Dia sudah berada di Indonesia selama 3 bulan, dan menetap sementara di bali.

2 comments:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Ama(s)tory | TNB