Sang matahari semakin meninggi meninggalkan ufuk timur, memberikan kehangatan yang perlahan menjalar masuk menembus kulit menggusur rasa dingin yang tak mau bernjak dari dalam tubuh. Suasana puncak pananjakan semakin riuh oleh banyaknya orang-orang yang menikmati indahnya sinar matahari pagi dan tiupan angin yang menggerakan dedaunan hijau, menggugurkan butiran embun yang melekat di tiap helainya.
Lamunan saya terhenti setelah
Sabrina mengajak saya untuk turun dan kembali menuju jeep kami yang telah
menunggu untuk melanjutkan perjalanan menuju kawah bromo.
“Purbo, it’s already 6.30 am, let’s
back to the jeep and go to next destination” kata Sabrina.
“Wait a minute, okay let’s go” seru
saya setelah membenarkan celana yang melorot.
Sambil berjalan menuruni puncak
pananjakan mata saya tidak henti-hentinya melihat keindahan sekitar, sambil
terus merekam keindahan di dalam memori otak dan memori handphone, sesekali
mata saya tertuju ke arah beberapa pasang entah kekasih atau suami istri yang
tengah dengan senangnya menikmati momen indah mereka bersama, tersenyum
bahagia, tertawa lepas tak jarang mereka saling bergandengan tangan dan
berpelukan. Mungkin bagi mereka perjalanan ini merupakan perjalanan terindah
yang mereka lewatkan bersama, mengumpulkan kepingan-kepingan kenangan untuk
dirangkai bersama dengan orang yang terkasih. Bertolak belakang dengan mereka
semua, perjalanan saya ini adalah perjalanan untuk membuang kepingan kenangan
yang sudah terlalu banyak dan membongkah begitu besarnya sehingga harus
membutuhkan waktu dan usaha yang lama untuk perlahan mengikis besarnya
bongkahan itu agar siap mencari dan merangkai kepingan kenangan yang baru
dengan seseorang yang baru dan mau merangkainya bersama.
“Purbo! Watch your step!” kata
Sabrina sedikit berteriak.
“What?” Kata saya tetap mengambil
video, sambil meminta Sabrina mengulangi kata-katanya.
“Just see what’s on your foot now”
kata Sabrina sambil menatap jijik.
“Oooooh No!” sambil menahan bibir untuk mengumpat dengan
kata-kata yang sering saya dengar di film-film action Hollywood.
Sepatu converse hitam kesayangan
saya menginjak sebuah benda lembek, coklat, dan berbau menyengat mirip kotoran
kuda, ya itu memang kotoran kuda yang banyak berlalu lalang tanpa pak kusir
yang sedang bekerja mengendarai kuda supaya baik jalannya. Sabrina dan kedua
teman saya pun tertawa melihat apa yang menimpa saya, saya hanya tersenyum,
tersenyum gondok melihat mereka semua. Perjalanan menuju kawah bromo pun saya
habiskan di dalam jeep dengan membersihkan sepatu dari kotoran kuda yang
melekat, sedangkan Sabrina hanya terus tertawa sambil menutup hidung mancungnya
yang terlalu panjang untuk hanya ditutup dengan dua jari.
“It’s funny right?” kata saya
tersenyum sambil terus membersihkan sepatu dengan jaket, jaket Sabrina.
“Please don’t be angry Purbo, I
laugh because I still remember the first expression when you realize that you
are step on the poo, I want to take your picture at that moment and keep it as
a memory. Because it was the first time I saw a shocking face like that, you
are so funny Purbo” kata Sabrina sambil terus menahan tawa.
“I’m not angry Sab, I’m happy right
now, because I can make the people around me laugh because of me. That’s poo is
our first memory Sab, please don’t forget it. But please don’t call me the man who step on a poo if we meet
again” kata saya sambil mencolekan kotoran kuda ke lengan teman.
“Okay, but let me call you “Poo
rbo” just for today” canda Sabrina.
“I’m very angry now!” kata saya
menjambak rambut, rambut pak supir karena dari tadi jeep kami belum sampai juga
di kawah bromo.
Perjalanan menuju kawah bromo dari
pananjakan hanya sekitar 20 menit, tentu saja tanpa macet, tanpa joki three in
one disepanjang jalan dan tanpa lampu merah yang hitungan detik nya mencapai
300 detik. Di sepanjang jalan menuju kawah bromo baik di kiri maupun di kanan
nya tidak ada pohon cemara, melainkan hanya hamparan padang pasir yang luas
tanpa penjual mango frappes untuk melepas dahaga.
Neng kalo nggak kuat abang gendong sampe puncak mau? |
Sigh |
Mampir di pintu masuk Pura di kaki Kawah Bromo |
“Mas nya turun di sini ya, nanti
tinggal jalan ke puncak kawah kira-kira setengah jam lah, nanti jam 10 bapak
tunggu di sini. Jangan telat ya mas.” Kata pak supir jeep setibanya kami di
titik terakhir jeep dipakirkan berkumpul bersama jeep-jeep lain yang membawa
rombongan lain.
“Oke pak, tapi kenapa emang kalo
telat dari jam 10” Tanya saya penasaran.
“Bapak sepi nggak ada temennya”
kata pak supir sambil memelintir genit kumisnya.
“Hih! Kirain ada apa pak, kirain
kalo jam 10 ada badai pasir atau gas beracun. Oke deh pak siap, saya pergi dulu”
sambil pamit mencium tangan pak supir.
This is Sabrina with her laughing stock |
Jalur menuju puncak kawah bromo
tidak terlalu terjal untuk dilewati, terbukti banyak anak-anak dan orang tua
yang masih mampu untuk berjalan menuju puncak kawah bromo. Tidak berbeda dengan
di pananjakan, di sepanjang jalur menuju puncak terdapat banyak warga sekitar
yang menyediakan jasa sewa kuda untuk para pengunjung yang malas atau tidak
mampu untuk berjalan hingga puncak. Jadi jangan heran kalau kita terkadang
harus berjalan berdampingan dengan kuda yang terus meringis dari titik
pendakian hingga puncak kawah sebelum tangga.
Kuda yang di sewakan untuk para pengunjung |
“Poo rbo, please watch your step, I
don’t want to see you step on it again. Sabrina tertawa.
“Okay, not for the second time sab”
Saya membalas senyuman.
There's only one way up |
And also there's only one way down |
Selain banyak warga yang menawarkan
jasa untuk menyewakan kuda di bromo juga banyak ibu-ibu yang menjual ikatan
bunga berbagai jenis tentu tanpa ucapan “selamat menempuh hidup baru” atau
“selamat berbahagia”. Sempat muncul pertanyaan di kepala saya, untuk apa
ibu-ibu itu menjual ikatan bunga di tengah-tengah hamparan pasir yang luas,
sampai akhirnya Sabrina bertanya pada saya.
“Purbo, why they sell flower here,
for what?” kata Sabrina bertanya.
“I don’t know Sabrina, but I will
ask it for you” saya berlalu menuju para ibu-ibu penjual bunga tersebut diikuti
Sabrina yang sama penasarannya.
“Silahkan mas bunganya 1 ikat
sepuluh ribu” kata ibu menawarkan
dagangannya.
“Kalo boleh nanya buat apa ya bu
bunganya? Kalo buat dikasih ke pacar, saya nggak punya bu” Tanya saya sambil bercanda.
“Bukan mas, bukan buat dikasih ke
pacar, tapi buat di lembar ke kawah bromo” ibu penjual bunga menjelaskan.
“Emang buat apa bu kok harus lempar
bunga ke kawah bromo?” Tanya saya makin penasaran”
“Orang sini percaya mas, kalo buang
bunga di kawah bromo sama ngucapin permintaan pasti terkabul, tapi mas nya
jangan percaya gitu aja, percaya tetep sama Allah” ibu penjual bunga tertawa.
“Kalo lempar bunganya buat buang
kenangan bisa nggak bu?” saya semakin ngaco.
“Bisa mas, malah buang sial juga
bisa. Tapi mas kenapa kok mau buang kenangan? Kenangan itu jangan dibuang.
Dibuang yang benar-benar nggak mau dikenang lagi aja mas, kalau pun mau dibuang
pasti nggak akan ada selesainya, pasti kenangan itu akan muncul lagi dan
meninggalkan sisa. Nggak akan pernah hilang mas kenangan itu pasti meninggalkan
sedikit sisa, kalau mau ngelupain kenangan ya caranya buat kenangan baru mas,
yang lebih indah, lebih manis, jadi kenangan dulu yang nggak bisa hilang itu
bisa teralihkan sama kenangan baru yang lebih indah” kata ibu penjual bunga
sambil menepuk pundak.
“Ohh gitu ya bu, hmmm” saya
tertunduk.
“Purbo. I’ll buy it for you” kata
Sabrina menginginkan dua ikat bunga.
“Bu beli bunganya 2 ikat ya” kata
saya menyodorkan uang, uang Sabrina.
“Ini mas bunganya, ingat pesan ibu
ya mas” kata ibu penjual bunga tersenyum.
“Iya bu makasih ya” kemudian kami
semua berlalu.
Tangga menuju puncak kawah bromo |
Di puncak kawah bromo sudah ramai
dengan pengunjung, banyak dari mereka yang mengambil foto pemandangan atau foto
diri mereka dengan background kawah bromo. Saya sendiri hanya tertegun
memegangi seikat bunga, masih asik mencerna dan memikirkan kata-kata ibu
penjual bunga barusan. Iya kenangan memang tidak ada habisnya, mau sekeras
apapun kita membuang kepingan kenangan pasti tetap ada satu atau dua kenangan
yang tidak akan bisa hilang, tidak akan bisa kita buang dan akan terus
mengendap di dalam ruang bernama hati. Yang dibutuhkan sekarang adalah kita
bisa menerima kenangan itu tetap ada di dalam ruang bernama hati tanpa harus
terpaku dengan kenangan itu sehingga tidak berani untuk mengukir
kenangan-kenangan baru dengan seseorang yang mungkin akan memberikan kenangan
yang lebih indah dan lebih sulit dilupakan dari kenangan yang mengendap.
Ibarat secangkir kopi hangat diatas
meja di pagi hari yang ditinggal pemiliknya pergi. Secangkir kopi yang tadinya
hangat, nikmat akan berubah dingin dan akan tidak terasa nikmat jika kita
meneguknya. Jika kita ingin menikmati secangkir kopi hangat yang baru dan
nikmat, satu-satunya cara adalah membuang isi kopi yang sudah dingin di dalam
cangkir dan menuangkan kopi hangat yang masih baru. Mungkin pada saat kita
membuang kopi dingin tersebut akan ada sedikit ampas yang tertinggal di dasar
cangkir. Namun apakah ampas yang tertinggal itu akan mempengaruhi rasa kopi
hangat baru yang akan dituangkan ke dalam cangkir? Tentu tidak, ampas yang
tertinggal itu akan larut dan tercampur ke dalam kopi hangat baru yang baru
saja dituangkan ke dalam cangkir dan tidak akan mempengaruhi rasa kopi baru,
rasanya akan tetap nikmat walaupun tercampur sedikit ampas dari kopi dingin
tadi. Begitu pula dengan kenangan, walaupun ada sedikit kenangan yang
tertinggal di dalam ruang bernama hati, kenangan itu akan larut, akan tercampur
dengan kenangan baru yang dirangkai dengan seseorang yang baru tanpa takut harus
memikirkan kenangan yang masih tertinggal itu akan menganggu kenangan baru yang
akan dibuat. Karena yang akan kita rasakan sekarang adalah mencecap kenangan
baru yang indah, yang manis, yang tak terlupakan bersama.
Saya menurunkan backpack dan
mengambil beberapa barang dan sebongkah kenangan yang menurut saya bisa
dilupakan. Semua itu saya ikatkan bersama dengan satu ikat bunga di tangan.
Sekuat tenaga saya lemparkan ikatan kenangan jauh-jauh ke dalam kawah bromo.
Semoga dengan dilemparnya ikatan kenangan itu bongkahan kenangan yang mengendap
hanya meninggalkan sedikit ampas yang
akan larut dengan kenangan indah yang akan saya rangkai dengan seseorang
yang baru. Seseorang yang akan memberikan kenangan indah, manis dan tak
terlupakan bersama kelak.
Lemas setelah melempar sebongkah besar kenangan |
0 comments:
Posting Komentar