Perjalanan Hati part 2

Jumat, 02 Januari 2015 0 comments

     Sang matahari semakin meninggi meninggalkan ufuk timur, memberikan kehangatan yang perlahan menjalar masuk menembus kulit menggusur rasa dingin yang tak mau bernjak dari dalam tubuh. Suasana puncak pananjakan semakin riuh oleh banyaknya orang-orang yang menikmati indahnya sinar matahari pagi dan tiupan angin yang menggerakan dedaunan hijau, menggugurkan butiran embun yang melekat di tiap helainya.
     Lamunan saya terhenti setelah Sabrina mengajak saya untuk turun dan kembali menuju jeep kami yang telah menunggu untuk melanjutkan perjalanan menuju kawah bromo.
     “Purbo, it’s already 6.30 am, let’s back to the jeep and go to next destination” kata Sabrina.
     “Wait a minute, okay let’s go” seru saya setelah membenarkan celana yang melorot.
     Sambil berjalan menuruni puncak pananjakan mata saya tidak henti-hentinya melihat keindahan sekitar, sambil terus merekam keindahan di dalam memori otak dan memori handphone, sesekali mata saya tertuju ke arah beberapa pasang entah kekasih atau suami istri yang tengah dengan senangnya menikmati momen indah mereka bersama, tersenyum bahagia, tertawa lepas tak jarang mereka saling bergandengan tangan dan berpelukan. Mungkin bagi mereka perjalanan ini merupakan perjalanan terindah yang mereka lewatkan bersama, mengumpulkan kepingan-kepingan kenangan untuk dirangkai bersama dengan orang yang terkasih. Bertolak belakang dengan mereka semua, perjalanan saya ini adalah perjalanan untuk membuang kepingan kenangan yang sudah terlalu banyak dan membongkah begitu besarnya sehingga harus membutuhkan waktu dan usaha yang lama untuk perlahan mengikis besarnya bongkahan itu agar siap mencari dan merangkai kepingan kenangan yang baru dengan seseorang yang baru dan mau merangkainya bersama.
     “Purbo! Watch your step!” kata Sabrina sedikit berteriak.
     “What?” Kata saya tetap mengambil video, sambil meminta Sabrina mengulangi kata-katanya.
     “Just see what’s on your foot now” kata Sabrina sambil menatap jijik.
     “Oooooh No!”  sambil menahan bibir untuk mengumpat dengan kata-kata yang sering saya dengar di film-film action Hollywood.
     Sepatu converse hitam kesayangan saya menginjak sebuah benda lembek, coklat, dan berbau menyengat mirip kotoran kuda, ya itu memang kotoran kuda yang banyak berlalu lalang tanpa pak kusir yang sedang bekerja mengendarai kuda supaya baik jalannya. Sabrina dan kedua teman saya pun tertawa melihat apa yang menimpa saya, saya hanya tersenyum, tersenyum gondok melihat mereka semua. Perjalanan menuju kawah bromo pun saya habiskan di dalam jeep dengan membersihkan sepatu dari kotoran kuda yang melekat, sedangkan Sabrina hanya terus tertawa sambil menutup hidung mancungnya yang terlalu panjang untuk hanya ditutup dengan dua jari.
     “It’s funny right?” kata saya tersenyum sambil terus membersihkan sepatu dengan jaket, jaket Sabrina.
     “Please don’t be angry Purbo, I laugh because I still remember the first expression when you realize that you are step on the poo, I want to take your picture at that moment and keep it as a memory. Because it was the first time I saw a shocking face like that, you are so funny Purbo” kata Sabrina sambil terus menahan tawa.
     “I’m not angry Sab, I’m happy right now, because I can make the people around me laugh because of me. That’s poo is our first memory Sab, please don’t forget it. But please don’t  call me the man who step on a poo if we meet again” kata saya sambil mencolekan kotoran kuda ke lengan teman.
     “Okay, but let me call you “Poo rbo” just for today” canda Sabrina.
     “I’m very angry now!” kata saya menjambak rambut, rambut pak supir karena dari tadi jeep kami belum sampai juga di kawah bromo.
Perjalanan menuju kawah bromo dari pananjakan hanya sekitar 20 menit, tentu saja tanpa macet, tanpa joki three in one disepanjang jalan dan tanpa lampu merah yang hitungan detik nya mencapai 300 detik. Di sepanjang jalan menuju kawah bromo baik di kiri maupun di kanan nya tidak ada pohon cemara, melainkan hanya hamparan padang pasir yang luas tanpa penjual mango frappes untuk melepas dahaga.
Neng kalo nggak kuat abang gendong sampe puncak mau?
Sigh
Mampir di pintu masuk Pura di kaki Kawah Bromo

     “Mas nya turun di sini ya, nanti tinggal jalan ke puncak kawah kira-kira setengah jam lah, nanti jam 10 bapak tunggu di sini. Jangan telat ya mas.” Kata pak supir jeep setibanya kami di titik terakhir jeep dipakirkan berkumpul bersama jeep-jeep lain yang membawa rombongan lain.
     “Oke pak, tapi kenapa emang kalo telat dari jam 10” Tanya saya penasaran.
     “Bapak sepi nggak ada temennya” kata pak supir sambil memelintir genit kumisnya.
     “Hih! Kirain ada apa pak, kirain kalo jam 10 ada badai pasir atau gas beracun. Oke deh pak siap, saya pergi dulu” sambil pamit mencium tangan pak supir.
This is Sabrina with her laughing stock

     Jalur menuju puncak kawah bromo tidak terlalu terjal untuk dilewati, terbukti banyak anak-anak dan orang tua yang masih mampu untuk berjalan menuju puncak kawah bromo. Tidak berbeda dengan di pananjakan, di sepanjang jalur menuju puncak terdapat banyak warga sekitar yang menyediakan jasa sewa kuda untuk para pengunjung yang malas atau tidak mampu untuk berjalan hingga puncak. Jadi jangan heran kalau kita terkadang harus berjalan berdampingan dengan kuda yang terus meringis dari titik pendakian hingga puncak kawah sebelum tangga.
Kuda yang di sewakan untuk para pengunjung

     “Poo rbo, please watch your step, I don’t want to see you step on it again. Sabrina tertawa.
     “Okay, not for the second time sab” Saya membalas senyuman.
There's only one way up
And also there's only one way down

     Selain banyak warga yang menawarkan jasa untuk menyewakan kuda di bromo juga banyak ibu-ibu yang menjual ikatan bunga berbagai jenis tentu tanpa ucapan “selamat menempuh hidup baru” atau “selamat berbahagia”. Sempat muncul pertanyaan di kepala saya, untuk apa ibu-ibu itu menjual ikatan bunga di tengah-tengah hamparan pasir yang luas, sampai akhirnya Sabrina bertanya pada saya.
     “Purbo, why they sell flower here, for what?” kata Sabrina bertanya.
     “I don’t know Sabrina, but I will ask it for you” saya berlalu menuju para ibu-ibu penjual bunga tersebut diikuti Sabrina yang sama penasarannya.
     “Silahkan mas bunganya 1 ikat sepuluh ribu”  kata ibu menawarkan dagangannya.
     “Kalo boleh nanya buat apa ya bu bunganya? Kalo buat dikasih ke pacar, saya nggak punya bu” Tanya saya sambil bercanda.
     “Bukan mas, bukan buat dikasih ke pacar, tapi buat di lembar ke kawah bromo” ibu penjual bunga menjelaskan.
     “Emang buat apa bu kok harus lempar bunga ke kawah bromo?” Tanya saya makin penasaran”
     “Orang sini percaya mas, kalo buang bunga di kawah bromo sama ngucapin permintaan pasti terkabul, tapi mas nya jangan percaya gitu aja, percaya tetep sama Allah” ibu penjual bunga tertawa.
     “Kalo lempar bunganya buat buang kenangan bisa nggak bu?” saya semakin ngaco.
     “Bisa mas, malah buang sial juga bisa. Tapi mas kenapa kok mau buang kenangan? Kenangan itu jangan dibuang. Dibuang yang benar-benar nggak mau dikenang lagi aja mas, kalau pun mau dibuang pasti nggak akan ada selesainya, pasti kenangan itu akan muncul lagi dan meninggalkan sisa. Nggak akan pernah hilang mas kenangan itu pasti meninggalkan sedikit sisa, kalau mau ngelupain kenangan ya caranya buat kenangan baru mas, yang lebih indah, lebih manis, jadi kenangan dulu yang nggak bisa hilang itu bisa teralihkan sama kenangan baru yang lebih indah” kata ibu penjual bunga sambil menepuk pundak.
     “Ohh gitu ya bu, hmmm” saya tertunduk.
     “Purbo. I’ll buy it for you” kata Sabrina menginginkan dua ikat bunga.
     “Bu beli bunganya 2 ikat ya” kata saya menyodorkan uang, uang Sabrina.
     “Ini mas bunganya, ingat pesan ibu ya mas” kata ibu penjual bunga tersenyum.
     “Iya bu makasih ya” kemudian kami semua berlalu.
Tangga menuju puncak kawah bromo

     Di puncak kawah bromo sudah ramai dengan pengunjung, banyak dari mereka yang mengambil foto pemandangan atau foto diri mereka dengan background kawah bromo. Saya sendiri hanya tertegun memegangi seikat bunga, masih asik mencerna dan memikirkan kata-kata ibu penjual bunga barusan. Iya kenangan memang tidak ada habisnya, mau sekeras apapun kita membuang kepingan kenangan pasti tetap ada satu atau dua kenangan yang tidak akan bisa hilang, tidak akan bisa kita buang dan akan terus mengendap di dalam ruang bernama hati. Yang dibutuhkan sekarang adalah kita bisa menerima kenangan itu tetap ada di dalam ruang bernama hati tanpa harus terpaku dengan kenangan itu sehingga tidak berani untuk mengukir kenangan-kenangan baru dengan seseorang yang mungkin akan memberikan kenangan yang lebih indah dan lebih sulit dilupakan dari kenangan yang mengendap.
     Ibarat secangkir kopi hangat diatas meja di pagi hari yang ditinggal pemiliknya pergi. Secangkir kopi yang tadinya hangat, nikmat akan berubah dingin dan akan tidak terasa nikmat jika kita meneguknya. Jika kita ingin menikmati secangkir kopi hangat yang baru dan nikmat, satu-satunya cara adalah membuang isi kopi yang sudah dingin di dalam cangkir dan menuangkan kopi hangat yang masih baru. Mungkin pada saat kita membuang kopi dingin tersebut akan ada sedikit ampas yang tertinggal di dasar cangkir. Namun apakah ampas yang tertinggal itu akan mempengaruhi rasa kopi hangat baru yang akan dituangkan ke dalam cangkir? Tentu tidak, ampas yang tertinggal itu akan larut dan tercampur ke dalam kopi hangat baru yang baru saja dituangkan ke dalam cangkir dan tidak akan mempengaruhi rasa kopi baru, rasanya akan tetap nikmat walaupun tercampur sedikit ampas dari kopi dingin tadi. Begitu pula dengan kenangan, walaupun ada sedikit kenangan yang tertinggal di dalam ruang bernama hati, kenangan itu akan larut, akan tercampur dengan kenangan baru yang dirangkai dengan seseorang yang baru tanpa takut harus memikirkan kenangan yang masih tertinggal itu akan menganggu kenangan baru yang akan dibuat. Karena yang akan kita rasakan sekarang adalah mencecap kenangan baru yang indah, yang manis, yang tak terlupakan bersama.
     Saya menurunkan backpack dan mengambil beberapa barang dan sebongkah kenangan yang menurut saya bisa dilupakan. Semua itu saya ikatkan bersama dengan satu ikat bunga di tangan. Sekuat tenaga saya lemparkan ikatan kenangan jauh-jauh ke dalam kawah bromo. Semoga dengan dilemparnya ikatan kenangan itu bongkahan kenangan yang mengendap hanya meninggalkan sedikit ampas yang  akan larut dengan kenangan indah yang akan saya rangkai dengan seseorang yang baru.  Seseorang yang akan memberikan kenangan indah, manis dan tak terlupakan bersama kelak.

Lemas setelah melempar sebongkah besar kenangan

     Sekarang cangkir kopi ku sudah kosong, saatnya mencari seseorang yang akan menuangkan kopi hangat yang baru, yang nikmat, hingga cangkirku penuh kembali.

0 comments:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Ama(s)tory | TNB