Untuk Aku, Logika dan Sepotong Hatiku.

Jumat, 13 Maret 2015 0 comments
Untuk aku...
Untuk aku yang sudah selama satu minggu terdiam membisu apabila tidak ada orang-orang di sekelilingku, yang lebih nyaman mengandai-andaikan masa lalu yang jelas-jelas tidak bisa menjadi masa depanku.
Untuk aku yang lebih suka menghabiskan waktuku sendiri menjauh dari hiruk pikuk dan lalu lalang nya keramaian agar bisa lebih sering berdamai dengan batinku.
Untuk aku yang semakin hari semakin tidak perduli dengan ucapan orang lain, dan terus terlarut dengan semua bualan-bualan yang ku dengar dari dalam isi hatiku.
Untuk aku yang seakan tak perduli dengan kesehatanku, penampilanku, kegiatanku, bahkan kesenanganku yang lebih mengikuti resah dan gelisahku.
Untuk aku yang tak ku lihat lagi semangatku, keceriaanku, senyumku, tawa dan candaku yang biasa ku lihat dari cermin yang menggantung di salah satu sisi dinding kamarku.
Untuk aku kenapa kau begitu?

Untuk aku,
Untuk aku, ada apa sebenarnya dengan diriku, aku pun tak tahu dimana harus ku cari jawaban dari pertanyaan itu. Sungguh sebuah pertanyaan yang entah begitu sulit dijawab apabila ada seseorang menanyaiku, hatiku pun memilih membisu, seakan tak mampu berucap akan semua yang terjadi pada diriku.
Yang ku rasakan sekarang adalah sebuah rasa yang sebenarnya tidaklah baru, rasa yang pernah ku cecap sebelumnya, sebuah rasa gagal, kalah, putus asa, bingung, sakit, atau mungkin kecewa yang tak ku tahu seberapa kuat rasa itu.
Sebuah rasa yang muncul ketika aku tidak bisa menerima kenyataan yang jelas-jelas harus ku hadapi dan ku jalani semampuku. Sebuah rasa ketika ku terlalu mengharapkan sesuatu yang sangatlah jelas tidak akan menjadi seperti yang ku mau.
Ya begitulah mungkin rasa yang kurasakan sekarang. Semenjak ku mendengar pernyataan yang keluar dari bibirmu yang tak kulihat langsung, semenjak aku kau bolehkan menyerah untuk mendekatimu karena sejak awal kau telah berjanji pada dirimu sendiri untuk tidak memberikan kesempatan padaku karena sebuah alasanmu, semenjak tak ku terima lagi semua pesan darimu yang terkadang perlahan menyadarkanku kita tak mungkin bersatu.
Namun saat itu aku tidak terlalu memperdulikannya, aku terlalu asik membiarkan diriku terlarurt akan rasa nyaman, rasa senang, rasa bahagia dan rasa ingin menjadi lebih baik lagi jika ada dirimu yang memang hanya dalam bentuk semu karena tak ada disampingku, bahkan untuk menatapmu saja aku tak mampu karena alasan itu. Alasan yang memang sungguh masuk akal menurutku, sebuah jarak dan perbedaan waktu.

Untuk aku...
Untuk aku yang masih mengharapkan sekecil apapun harapan yang ada akan mengubah pemikiranmu tentang alasanmu.
Untuk aku yang masih menginginkan kamu memberikan sebuah kesempatan padaku dan menerima semua perlakuanku, usahaku, perhatianku dan menunjukan seberapa besar keseriusanku padamu tanpa sebuah dinding besar yang menghadang yang telah kau bangun karena mengikuti alur laju logikamu.
Untuk aku yang sampai sekarang masih memikirkanmu walau ku tak tahu apakah kau pun pernah memikirkanku
Untuk aku yang merasa rindu akan komunikasiku dengan mu, walau kita hanya berbalas pesan atau mendengarkan nada dan intonasi suaramu yang lucu nan jauh disana dengan handphone ku
Untuk aku yang biasanya pandai menyembunyikan sesuatu, menyembunyikan kertas nilai ulangan jelek ku dulu, menyembunyikan barang milik adik ku, menyembunyikan rasa rindu, menyembunyikan kenangan masa lalu, menyembunyikan sedih dan resah dengan senyumku, sekarang kenapa ku tak bisa seperti itu?
Untuk aku, mana diriku yang dulu?

Untuk aku,
Untuk aku, bukankah ku sudah terbiasa kan rasa seperti itu, rasa sedih akan kehilangan sesuatu, rasa gagal karena sebuah harapan yang ku mau tak sesuai dengan apa yang ku terima, rasa kalah karena diharuskan mengalah akan sesuatu, rasa rindu yang memuncak karena ingin bertemu.
Kali ini semua rasa itu ku rasakan kembali, seharusnya diriku bisa menyembunyikan rasa itu atau mungkin tidak harus membuat diriku menjadi seperti ini. Namun ada satu rasa yang belum pernah ku rasakan sebelumnya yang mungkin membuatku menjadi ragu, ragu untuk bisa menerima rasa itu, menghadapi rasa itu, merasakan rasa itu tanpa harus berdampak dalam kehidupanku.
Sebuah rasa putus asa karena aku diharuskan menyerah untuk memperjuangkan sesuatu yang sampai sekarang pun masih ingin ku perjuangkan dengan semua usaha dan kemampuanku, tapi aku bisa apa bila kamu sudah berkata padaku untuk berhenti berusaha mendekatimu karena tidak akan merubah cara pandangmu padaku karena sebuah alasan dan sebuah janji pada dirimU di awal pertemuan kita, dan tak mau mem-pupuskan harapanku dengan semua usahaku.
Aku tak menyalahkanmu atau sedikitpun merasa tidak suka akan keputusanmu, sungguh itu sepenuhnya hakmu, tidak ada hak untukku mengubah hal itu. Hingga akhir percakapan kita malam itu pun aku masih bisa tersenyum mendengar suara mu, masih terngiang di telingaku, masih ku hafal cara bicaramu, suara tawamu, pelannya nada mu sehingga berulang kali ku minta kamu mengulang perkataanmu.
Sungguh, perasaanku padamu saat ini tak berubah, masih seperti awal ku melihatmu, berawal dari rasa tertarik hingga rasa suka dan sayang yang terbelenggu. Sampai ku mendengar keputusanmu malam itu, atau bahkan sampai sekarang setelah seminggu ku tak dengar lagi kabar darimu, rasa itu masih sama seperti dulu.
Sebenarnya aku ingin kita tetap berhubungan seperti dulu, menanyai kegiatanmu, ingin tahu kebiasaanmu, memberikan perhatian kepadamu, bercanda denganmu, atau sekedar mendengarkan suara mu lewat telpon di malam hari hingga lupa waktu yang terkadang tak terdengar lagi suara darimu yang matanya sudah terpejam karena melewati jam tidurmu.
Aku nyaman saat-saat itu bersamamu. Tapi untuk sekarang ini sepertinya aku masih tak mampu, aku takut semua itu akan aku andaikan menjadi sebuah harapan untukku. Biarkan aku bisa menganggap semua itu seperti apa yang kau rasakan kepadaku, tanpa sebuah rasa lebih yang perlu diharapkan, hanya sebuah rasa nyaman.
Mungkin aku harus belajar darimu, belajar untuk menggabungkan logika dan hati, karena sebuah perasaan yang muncul tidak melulu mengikuti kata hati kita, tetapi harus juga mempertimbangkan pendapat dari logika.
Sudah saatnya untuku membiarkan hati dan logika ku untuk saling bertemu.

Untuk logika...
Untuk logika yang terkadang tak ku tahu apa kegunaanmu bila muncul sebuah perasaan suka, sayang dan cinta kepada seseorang
Untuk logika yang selalu aku kesampingkan apabila sudah ku rasakan sebuah perasaan yang membuatku bahagia walaupun itu hanya sementara
Untuk logika yang selalu tak ku dengar pendapatmu apakah hal yang kulakukan sudah benar atau salah karena yang ku ikuti hanya kata hatiku
Untuk logika yang selalu ku cari dimana keberadaanmu bila sudah timbul kekecewaan, kesedihan, kegagalan dan keputus asaan menghinggapi diriku
Untuk logika yang selalu ku salahkan karena kau tak mengingangatkanku yang terlalu meng-agungkan semuanya kepada hatiku

Untuk logika,
Untuk logika, maafkan aku yang tak pernah mendengarkanmu, mengabaikanmu atau tidak menghiraukan semua yang kau ucapkan akan sebuah keputusan. Aku sadar semua perasaan yang aku rasakan pada dia saat itu hingga sekarang tak berdasarkan atas logika, hanya melulu mengikuti apa yang dikatakan hatiku. Egois, ya memang aku terlalu egois, aku tak meminta pendapatmu, aku tidak realistis pada kenyataan.
Mungkin bila ku mendengarkan semua pendapatmu tak harus ada perasaan lebih yang semakin lama semakin kuat pada dia, perasaan yang tidak akan bisa dibagi dengan dia, perasaan yang hanya kunikmati sendiri hanya dengan hatiku. Namun sekarang setelah semuanya terjadi, setelah ku tahu perasaan itu harus ku hapus barulah aku mencarimu untuk menyadarkan akan semua yang dikatakan hatiku itu tidak akan pernah terjadi.
Untuk logika, maukah kah kau membantuku menghilangkan perasaan itu, walaupun mungkin membutuhkan waktu. Mungkin kamu sekarang berkata kepada ku, kenapa aku harus membutuhkan waktu untuk mengapuskan rasa itu, bukankah kali ini tidak ada kenangan yang tersimpan antara diriku dengan dia, bukankah aku hanya bertemu sebentar dengan dia, bukankah aku dan dia bahkan tak mengenal satu sama lain sebelumnya. Aku tahu logika, pasti kau akan menanyakan itu padaku.
Tapi entah, aku pun tak tahu itu. Walaupun benar semua yang kau ucapkan itu, tapi aku merasa semua itu tidak benar, walau aku hanya bertemu sebentar dengan dia, walaupun aku baru kenal dengan dia, walaupun aku tidak punya satu kenangan pun dengan dia, aku merasa aku sudah mengenalnya sangat jauh, aku merasa sudah lama bertemu dengan dia, dan aku merasa semua hal walaupun cerita, perhatian, sebuah candaan beberapa bulan ini adalah kenangan dengan manis bersama dia, walaupun hanya dalam bentuk tulisan dan suara.
Mungkin lebih baik kutanyakan kepada hatiku terlebih dahulu, sebelum ku dengarkan semua pendapatmu.

Untuk sepotong hatiku...
Untuk sepotong hatiku bukankah tugasmu hanyalah sebagai sebuah organ vital untuk mengekskresikan zat-zat beracun dalam tubuh, kenapa tak kau kerjakan saja tugasmu itu tanpa harus ikut campur dalam timbulnya sebuah rasa atau perasaan
Untuk sepotong hatiku yang selalu aku ikuti apa katamu, selalu ku ikuti perintahmu, kau lah yang memunculkan semua perasaan itu, perasaan suka, sayang, cinta, sedih, gundah, resah, gelisah, gagal, kecewa dan putus asa
Untuk sepotong hatiku yang selalu tahu apa yang aku rasakan, apa yang aku sembunyikan dan apa yang aku inginkan
Untuk sepotong hatiku yang sudah terlalu banyak merasakan banyak rasa senang dan sakit, itu kah yang kau mau
Untuk sepotong hatiku yang tak pernah salah dan selalu ku anggap benar apa yang kau arahkan padaku.

Untuk sepotong hatiku,
Untuk sepotong hatiku, apa yang sebenarnya kau mau? Kau lah yang meminta merasakan bahagia, kau lah yang menuntunku kepada dia, kau lah yang memunculkan perasaan suka dan sayangku kepada dia. Aku rasa kau sudah cukup merasakan senang dan bahagia dengannya walaupun ku tahu kau hanya merasakannya sendiri tanpa tahu apakah hatinya pun merasakan apa yang kau rasakan.
Tapi sekarang, disaat semua rasa bahagia dan nyaman itu diharuskan pergi, berganti dengan rasa gagal, kecewa, sedih, sakit dan putus asa, seakan kau tak bertanggung jawab. Kau hanya terdiam membisu di sudut gelap ruanganmu, tak seperti dulu saat kau menuntunku padanya, mengharap padanya, merasa nyaman dengannya.
Sekarang seolah kau membiarkan pintu hatiku terbuka dan tak bisa menutupnya kembali. Saat itu kau lah yang menuntunku untuk membuka pintu hatiku yang telah susah payah ku coba tutup karena kau buka sebelumnya, sambil berharap diapun membuka pintu hatinya untuk ku. Namun setelah sekarang kau tahu dia tak membuka pintu hatinya untukku, kau tak bertanggung jawab membiarkan pintu hatiku terbuka, dan mengharuskanku menutupnya sendiri dengan usahaku sendiri.
Namun disaat aku dan logika berjuang bersama untuk perlahan menutup pintu hatiku, kau selalu berteriak "jangan" kau masih saja menyuruhku menunggu, dan berusaha sampai dia mau membuka pintu hatinya untukku yang entah itu kapan akan terjadi atau tidak atau bahkan tidak akan pernah terjadi. Untuk sepotong hatiku, aku tahu kau merasakan sakitnya itu, mungkin rasa sakit yang kau rasakan lebih sakit dari apa yang aku rasakan, tapi aku mohon, mau kah kau membantuku bersama logika menutup pintu hatiku yang telah kau buka itu?
Aku harap kau mau.

Untuk aku, Logika, dan Sepotong Hatiku percayalah, kita mampu.

0 comments:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Ama(s)tory | TNB